RAFLY A. N. KIBAS
2014-64-010
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
BAB 5 RESTORASI DAN KALIBRASI CITRA
5.1
KUALITAS CITRA
Kualitas
citra yang akan dibahas pada subbab berikut berbeda dengan pengertian kualitas
data spasial secara umum, seperti yang telah dipublikasikan secara mendalam
oleh Guptill dan Morrison (1995). Kualitas data spasial secara umum yang
dimaksudkan oleh Guptill dan Morrison adalah suatu keadaan data yang harus
diinformasikan kepada pengguna data tersebut agar mereka dapat memaanfaatkannya
secara proporsional; dan juga kepada praktisi atau peneliti yang dalam
pekerjaannya menghasilkan keluaran berupa peta atau citra agar mencantumkan
informasi tentang keadaan data yang dihasilkan sehingga data dapat dimanfaatkan
sebagaimana mestinya. Kualitas data spasial menurut pengertian Guptill dan
Morisson (1995) ini telah dibahas secara mendalam oleh suatu komisi dalam ICA
(International Cartographic Association) yang bernama Komisi Kualitas Data
Spasial. Komisi ini menekankan tujuh aspek informasi yang harus termuat sebagai
metadata (‘data tentang data’) dan menjadi tolak ukur kualitas suatu data
spasial, yaitu
1.
Lineage/genaology atau riwayat data
2.
Akurasi posisi
3.
Akurasi atribut
4.
Kelengkapan
(completness)
5.
Konsistensi
logis
6.
Akurasi semantic
7.
Informasi temporal
Pada
subbab kali citra merupakan ukuran kualitatif maupun kuantitatif suatu citra
yang akan diproses dengan teknik penginderaan jauh agar dapat menghasilkan
informasi tematik-spasial turunan yang sesuai dengan standar akurasi yang telah
ditetapkan. Secara garis besar, kualitas citra dapay dikelompokan menjadi
kualitas geometri dan kualitas radiometri. Kualitas geometri dinilai secara
kuantitatif berdasarkan tingkat kebenaran ( yang berarti tingkat akurasi)
bentuk serta posisi objek pada citra, dengan mengacu pada bentuk dan posisi
sebenarnya di lapangan ataupun bentuk dan posisi pada peta dengan proyeksi
tertentu. Ukuran kualitas geometri ini tentu saja lebig bersifat kuantitatif.
Di samping itu ukuran kualitas geometri ini terkait erat dengan salah satu
aspek kualitas data spasial, yaitu akurasi posisi.
Kualitas
radiometri dinilai berdasarkan nyaman-tidaknya gambar dalam pandangan secara
visual, dan juga benar atau tidaknya infrormasi spektral yang diberikan oleh
objek tercatat oleh sensor. Dengan demikian, kualitas radiometri dapat dinilai secara kualitatif dan
kuantitatif, meskipun bersifat kualitatif, nyaman-tidaknya gambar untuk dilihat
secara visual sangat berpengaruh pada kemampuan pengguna citra (penafsir atau
analisis) untuk menurunkan informasi yang ada. Hal ini terutama berlaku bagi
analisis atau interpretasi secara visual, meskipun bukan berarti bahwa analisis
secara digital tidak terpengaruh sama sekali. Benar tidaknya informasi spektral
citra secara langsung berpengaruh pada akurasi informasi turunan yang
dihasilkan, misalnya kelas-kelas penutup lahan yang dihasilkan melalui
klasifikasi multispektral, dan juga presentase kerapatan liputan vegetasi yang
diturunkan melalui transformasi ndeks vegetasi
5.1.1 Penilaian Kualitas Citra
Penilaian
kualitas citra dapat dilakukan secara absolut dan dapat pula secara relatif.
Penilaian kualitas secara absolut biasanya mengacu pada beberapa tolak ukur
yang jelas, misalnya presentase liputan awan, banyaknya drop-out atau kegagalan
baris pemandaian,serta korelasi antar saluran pada sistem multispektral.
Penilaian secara relatif biasanya dikaitkan dengan potensi citra yang
bersangkutan untuk suatu aplikasi tertentu, misalnya survei geologi,kota maupun
vegetasi.
5.1.2 Beberapa Parameter Kualitas Citra
Berikut
ini ulasan tentang beberapa parameter kualitas citra yang sering digunakan oleh
praktisi yaitu
-
Tutupan awan dan gangguan kabut
-
Korelasi antarsaluran
-
Kesalahan geometri
-
Kesalahan radiometri
1. Tutupan
Awan dan Gangguan Kabut
Satelit
sumberdaya dikatakan ‘baik’ atau ‘memenuhi syarat’ antara lain bila luas
liputan awannya kurang dari 10%. Semakin banyak luas liputan awannya berarti
semakin banyak pula informasi permukaan bumu yang hilang karena tutupan awan
dan sekaligus bayangannnya. Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan satelit
cuaca yang justru banyak membutuhkan informasi mengenai bentuk dan luas liputan
awan, demi peramalan gejala-gejala atmosfer atau cuaca (Conway dan Maryland
Space Consortium, 1997). Meskipun demikian, sekaligus liputan awal total pada
suatu scene hanya 10%, bisa jadi liputan tersebut merata pada seluruh wilayah.
Hal ini tentu saja sangat menganggu dalam proses interpretasi manual maupun
klasifikasi secara digital karena tutupan awan hampir selalu ‘ditemani’ oleh
tutupan bayangan awan.
Di indonesia, citra yang 100% bebas
awan sangat sulit diperoleh. Hal ini disebabkan oleh waktu perekaman satelit
yang bersamaan dengan waktu perekaman satelit yang bersamaan dengan waktu
pembentukan awan dengan sistem sensornya.
2. Korelasi
Antarsaluran
Sistem
sensor multispektral menghasilkan citra daerah yang sama pada beberapa saluran.
Perbedaan informasi spektral objek-objek yang sama pada beberapa saluran justru
memperkuat kemampuan sistem dalam membedakan objek satu terhadap yang lain,
melalui analisis gugus (cluster analysis). Dalam bahasa yang lebih sederhana,
rendahnya hubungan antarsaluran justru menunjukan bahwa satu saluran tidaklah
‘mirip’ atau tidak sekadar menunjukan kecenderungan rona yang terbalik dari
saluran yang lain sehingga secara bersama-sama saling melengkapi dapat dipakai
untuk mengenali objek.
3. Kesalahan
geometri Citra
Citra
yang dihasilkan secara langsung melalui proses perekaman satelit tidaklah bebas
dari kesalahan. Kesalahan ini muncul karena adanya gerakan satelit, rotasi
bumi, gerakan cermin pada sensor skanner, dan
juga kelengkungan bumi. Pada satelit sumberdaya yang umumnya mengorbit
secara polar atau hampir polar, kombinasi mekanisme lintasan satelit dengan
arah rotasi bumi menyebabkan terjadinya ‘pergeseran’ ujud gambar dari kelompok
baris pemindaian ke kelompok baris pemindaian berikutnya. Hasil perekan juga
merupakan model dua dimensi yang menggambarkan kenyataan tiga dimensi pada
bidang lengkung permukaan bumi. Di sini sudah mumcul kesalahan geometri citra
yang lain. Perbedaan tinggi objek di permukaan bumi secara langsung direkam
sehingga menghasilkan citra dengan skala yang tidak seragam. Kesalahan ini
masih ditambah dengan adanya variasi ketinggian lintasan satelit.
Gambar
5.1 dan 5.2 menunjukan parameter kesalahan, deskripisi efek yang ditimbulkan
serta gambaran grafis dari efek tersebut. Kesalahan kesalahan geometri ini
dapat dikoreksi dalam dua tahap utama. Tahap pertama adalah kesalahan geometri
yang sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Kesalahan ini dinamakan kesalahan
sistematis, misalnya pengaruh gerakan vermin pemindai, kecepatan lindasan
satelit, dan arah serta kecepatan rotasi bumi. Tahap kedua adalah pemasukan
titik-titik kontrol lapangan yang dapat diidentifikasi pada citra lapangan/peta referensi dan
melalui pasangan titik-titik koordinat antara citra dan lapangan ini dapat
dibangun suatu persamaan transformasi untuk mengoreksi setiap posisi yang salah
pada citra menjadi posisi yang benar menurut skala, proyeksi, dan sistem koordinat
peta referensi atau lapangan.
4. Gangguan
dan Kesalahan Radiometri Citra
Inkonsistensi
detektor dalam menangkap infromasi juga menghasilkan kesalahan berupa anomali
nilai piksel. Piksel ini menjadi bernilai jauh lebih tinggi atau lebih rendah
dari yang seharusnya. Keterlambatan dalam memulai baris perekaman baru (akibat
mekanisme gerakan cermin yang berputar pada MSS Landsat) juga menghasilkan
baris-baris perekaman yang cacat. Kesalahan-kesalaham tersebut diakibatkan oleh
mekanisme internal sensor.
5.2 KOREKSI (RESTORASI) CITRA
Pada
bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa koreksi citra diterapkan pada
kesalaahan yang telah dapat ditentukan magnitude-nya sebelumnya (disebut
kesalahan sistematik), dan juga yang belum. Lepas dari itu, koreksi citra
merupakan suatu operasi pengondisian supaya citra yang akan digunakan
benar-benar memberikan informasi yang
akurat secara geometris dan radiometris.
5.1 Koreksi Geometri
Untuk
mengatasi kesalahan-kesalahan geometri citra, berbagai macam koreksi dilakukan.
Mather (2004) mengelompokan koreksi itu
ke dalam dua kategori besar, yaitu
a.
Model geometri orbital dan
b.
Transformasi berdasarkan titik-titik kontrol lapangan
(ground control points, GCP)
Berikut ini uraian masing-masing metode koreksi secara
ringkas.
1. Model
Geometri Orbital
Metode
kotreksi yang mengacu ke model geometri orbital didasari oleh pengetahuan
mengenai karakteristik orbit wahana satelit. Bannari (1995, dalam Mather, 2004)
menjelaskan dua prosedur berdasarkan persamaan-persamaan kolinearitas
fotogrametri. Persamaan-persamaan ini menggambarkan karakteristik orbit satelit
dan geometri arah pandang, serta mengaitkan sistem koordinat citra
(baris-kolom) dengan sistem koordinat geografis (lintang-bujur). Hal ini memerlukan
informasi tentang koordinat geografis dari beberapa titik di citra, yang
disebut dengan titik-titik kontrol lapangan (GCP). Faktor-faktor yang dikoreksi
melalui model geometri orbital ini dijelaskan sebagai berikut.
a.
Koreksi
‘Aspect Ratio’
Beberapa jenis sensor menghasilkan citra dengan piksel asli
yang tidak berupa bujur sangkar (panjang setiap sisi tidak sama). Lansdat MSS,
misalnya, seharuskan menghasilkan citra dengan setiap piksel berukuran 79 x 79
m atau jarak dari satu pusat piksel ke pusat piksel berikutnya adalah 79 m.
Akan tetapi, hasil perekaman Landsat MSS berupa citra dengan jarak antarpusat
piksel sebesar 56 m, yang disebabkan oleh proses ‘oversampling’ pada arah
melintang garis orbit (across-track scanning). Oversampling terjadi karena ada
perbedaan kecepatan antara pemindaian dengan coding dan penyimpanan data
pantulan oleh detektor.
Untuk mengatasi hal ini maka perlu dipilih apakah piksel
dikoreksi menjadi 79 x 79 m atau 56 x 56 m. Karena arah pemindaian melintang
orbit yang mengalami oversampling maka pemiligan 79 x 79 di pandang lebih
rasional. Aspect ratio (atau rasio dimensi xy) adalah 56:79 atau 1:1,41.
Matriks transformasi pertama untuk mengoreksi aspect ratio menjadi 1:1 menjadi
:
b.
Koreksi
kemencengan
Landsat Tm dan ETM+ menceng terhadap sumbu utara-selatan
bumi. Landsat 1-3 mempunyai inklinasi sebesar 99,09o, sementara
Landsat 4-5 dan 7 mempunyai inklinasi sebesar 98.2o, serta meningkat
sejalan dengan bertambah besarnya lintang, baik utara ataupun selatan. Sudut
kemencengan Ɵ pada lintang tertentu L dalam derajat dinayakan sebagai :
Dimana
ƟE adalah gerak satelit di ekuator. Dengan menganggap bahwa sudut Ɵ
pada sistem koordinat citra dapat dirotasi sebesar Ɵ berlawanan arah jarum jam
maka baris-baris pemindaian (scanlines) dapat diputar sedemikian sehingga
berorientasi arah barat-timur dengan menggunakan matriks M2 berikut :
c.
Koreksi
rotasi bumi
Pada satelit mengorbit bumi dari arah utara ke selatan,
satelit juga secara kontinu melakukan perekaman dengan cara memindai permukaan
bumi yang ada dibawahnya. Pada saat bersamaan, bumi berputar dari barat ke
timur, dengan kecepatan ‘perpindahan’ permukaan sebanding dengan posisi lintang
tepat di posisi nadir satelit. Untuk mengompensasi pergeseran posisi ini maka
diperlukan penentuan parameter berikut :
a. Waktu yang diperlukan oleh sensor satelit untuk merekam
citra,
b. Kecepatan sudut rotasi bumi (ke arah timur)
Mather
(2004) menambahkan bahwa sejumlah piksel ditambahkan pada awal setiap baris
pemindaian untuk mengompensasi efek rotasi bumi ini. Jika koreksi ini dipandang
cukup maka transformasi matriks M3 dapat dihilangkann, namun juka tidak maka
penambahan piksel diberikan pada header/trailer citra yang diasosiasikan dengan
setiap baris pemindaian, dan mengisi piksel bila dihilangkan sehingga matriks
transformasi M3 dapat diterapkan.
Ketiga matriks transformasi M1,M2,M3
tidak diterapkan secara terpisah, melainkan diterapkan sebagai ‘komposit’
matriks M, dengan cara mengalikan ketiga matriks tersebut:
M = M1 M2 M3
...................................................... (5.8)
2. Transformasi
berdasarkan GCP
Koreksi
geometri menggunakan model geometri orbital merupakan model fisikal yang mencoba mengenali
parameter-parameter penyebab kesalahan secara deduktif, kemudian
direkonstruksikan. Variasi ketinggian dan sikap/posisi wahana maupun objek
tidak ikut diperhitungkan dalam model fisika ini, semata-mata karena informasi
yang diperlukan untuk koreksi ini tidak tersedia (Mather,2004). Oleh, karena
itu muncul cara pandang yang berbeda, yang mencoba mengoreksi citra dari sudut
pandang empiris, dengan cara membandingkan posisi-posisi yang berbeda pada
citra dan data lapangan/peta yang sudah tersedia. Tentu saja diperlukan peta
yang memadai dari sisi skala untuk keprluan ini, dan juga hasil pengukuran
melalui GPS receiver yang juga layak diperbandingkan dengan resolusi spasial
citranya.
a. Koreksi
Geometri dengan Rektifikasi Citra ke
Peta
Rektifikasi
citra ke peta menggunakan prinsip bahwa peta mempunyai sistem proyeksi dan
koordinat yang lebih besar sehingga dapat diacu oleh citra. Dalam proses ini,
sistem geometri citra diubah menjadi planimerik. Segala aktivitas pemanfaatan
citra yang memerlukan pengukuran jarak,arah,luas yang akurat selalu memerlukan
jenis koreksi ini, meskipun demian, metode koreksi ini tidak mampu
menghilangkan semua distorsi yang disebabkan oleh pergeseran relief pada citra.
Pada dasarnya ada 6 macam distorsi yang dapat dimodelkan dan
dikoreksi dengan transformasi geometri, yaitu;
a.
Translasi pada sumbu X,
b. Translasi pada sumbu Y,
c.
Perubahan skala pada sumbu X,
d. Perubahan skala pada sumbu Y,
e.
Menceng, dan
f.
Rotasi.
Apabila ke-6 distorsi akan diselesaikan sekaligus maka mereka
akan dapat dikombinasikan kedalam satu ekspresi matematis, yaitu;
X
= a0 + a1X’ + a2X’………………………………………………………………(5.9)
Y
= b0 + b1X’ + b2X’
Dimana X dan Y merupakan posisi pada citra keluaran atau
pada peta acuan proyeksi pada citra terkoreksi akan sama dengan peta acuan
semantara X’ dan Y’ merupakan posisi citra sebelum terkoreksi. Jensen, (2005)
menyebut transformasi ini sebagai input-to-output atau forword mapping.
Kadang-kadang kita memerlukan fungsi persamaan polinomial
dengan orde yang lebih tinggi dari pada persamaan sebelumnya.orde polinom yang
lebih tinggi dimaksudkan untuk menghasilkan transformasi yang lebih halus dalam
arti lebih sesuai dengan bentuk distribusi nilai yang menggambarkan hubungan
antara dua macam variabel, dalam hal ini koordina X dan X’ serta koordinat Y
dan Y’. contohnya, jika persamaan polinomial orde 2 digunakan maka bentuk
persamaan 5.10 akan berubah menjadi;
Persamaan 5.10 memerlukan 6 parameter (a0, a1, a2, b0, b1,
dan b2) agar persaman tersebut dapat diselesaikan dalam arti nilai-nilai
koefisien a0 hingga a2 dan bo hingga b2 dapat dihitung. Persamaan 5.11
memerlukan 12 parameter (a0, a1, a2, a3, a4, a5, a6, dan d0, d1, d2, d3, d4,
d5) agar persamaan tersebut dapat di selesaikan. Secara praktis apabila,
analisis menggunakan persamaan polinemal orde 1 untuk mentransformasikan
koordinat citra dalam koreksi geometri maka diperlukan 6 titik kontrol,
persamaan polinemial orde 3 memerlukan lebih banyak parameter, yang membawa
kuenskensi pada kebutuhan akan titik kontrla yang lebih banyak agar persamaan
dapat di jalankan.
Dalam praktek, persamaan polinemeal orde 1 sudah bisa
dijalankan pada citra wilayah bermedan yang relatif datar, sementara polinom
orde yang lebih untuk citra yang menggambarkan kondisi wilayah yang lebih besar
topografinya. Miskipun demikian, jensen juga menyatakan bahwa ada aturan utama
untuk mengutamakan koreksi geometri dengan polinom orde 1 terlebih dahulu,
kecuali ketika dijumapai kesalahan-kesalahan non-linear dan tak sistematik.
Untuk kesalahan-kesalahan yang di sebutkan terakhir maka polinom orde yang
lebih tinggi diutamakan.
a. Akurasi
hasil koreksi geometri ; RMSE
Berdasarkan pasangan koordinat antara titik kontrol lapangan
dengan koordinat baru hasil estimasi, diperoleh selisih pada sepanjang sumbu X
(arah timur) maupun sumbu Y (arah utara). Selisih ini dapat dihitung pada
setiap titik kontrol dan juga pada hasil transformasi keseluruhan, yang
memperhitungkan seluruh titik kontrol yang ada berdasarkan selisih-selisih ini
kemudian dapat dihitung besarnya akurasi hasil koreksi geometri dengan rumus
root mean square error (RMSE). Gambar 5.5 mengilustrasikan pelajaran ini.
Gao (2009) menjelaskan secara sederhana sebagai berikut.
Pada setiap pasangan antara titik koordinat referensi dengan titik koordinat
hasil estimasi diperoleh selisih yang disebut dengan rectification residual,
yang jarang sekali bernilai nol. Pada suatu titik, nilai rectification residual
ini bisa berbeda untuk arah X dan arah Y. untuk analisis parameter ini
digunakan indikator akurasi yang disebut dengan RMSE, dimana perhitungan untuk
arah X dan arah Y digunakan rumus berikut;
Dimana
;
n = jumlah total titik kontrol lapangan
yang digunakan untuk koreksi atau rectifikasi.
Ei
dan Ni = berturut-turut koordinat
X dan Y, dari GGP ke-I, yang dihitung dari fungsi transformasi Fi dan F2 yang
digunakan dalam rektifikasi.
Ẻ
dan ᾐ = koordinat referensi
berturut-turut untuk X dan Y yang diperoleh dari peta topografi atau hasil
pengukuran GPS dilapangan.
b. Koreksi geometri dengan
rektifikasi citra ke-citra.
Koreksi geometri dengan rektifikasi dari citra ke citra
merupakan suatu proses yang membandingkan titik-titik yang dapat diidentifikasi
dengan mudah pada kedua citra. Retifikasi citra ke-citra tidak harus memerlukan
hasil yang harus menyajikan informasi tentang koordinat yang benar-benar sesuai
dengan peta. Misalnya, dua himpunan data ikonos dan quickbird pada waktu
perekaman yang berbeda hendak diperbandingkan
kenampakannya, analisis perubahan penggunaan lahan.
c.
Interpolasi intensitas dalam koreksi geometri.
Berdasarkan gambar 5.3 terlihat bahwa hasil koreksi geometri
akan menempatkan pixel pada matriks citra terkoreksi, namun dengan posisi
koordinat yang mengambang. Posisi semacam ini membawa implikasi pada penentuan
nilai pixel yang baru. Perhatikan bahwa implikasi pada penentuan nilai pixel
yang baru. Perhatikan bahwa matriks atau grid dengan posisi koordinat yang
bernilai bulat, tersebut juga telah ditempati oleh nilai-nilai pixel tertentu
pula. Pada gambar tersebut terlihat bahwa nilai pixel 15 menempati koordinat.
Ketika posisi baru harus ditentukan seperti pada gambar 5.5 menjadi X=2,4 dan Y= 2,7 maka nilai 15
perlu di evaluasi kembali dengan mempertimbangkan kedudukan/posisi baru hasil
koreksi geometri dan nilai-nilai pixel yang ada di sekitarnya.
Algoritma nearest neigbour diterapkan dengan hanya mengambil
kembali nilai dari pixel terdekat yang telah tergeser keposisi baru, algoritma
bi-linear interpolition mempertimbangkan ke- 4 nilai pixel yang berdakatan,
untuk kemudian dirata-rata secara proposional, sesuai dengan jaraknya terhadap
posisi baru, dengan mengikuti formula berikut;
Dimana BVwt merupakan nilai pixel baru hasil interpolasi
spasial yang merupakan retata tertimbang melalui metode biliner; Zk adalah
nilai pixel disekitar titik hasil penempatan posisi baru dan Dk2 adalah kuadrat
jarak dari titik hasil penentuan lokasi baru yang akan ditentukan nilainya.
Berdasarkan gambar 5.4 maka dapat ditentukan nilai pixel baru hasil interpolasi
seperti tersaji pada tabel 5.1. algoritma cubic convolution menggunakan prinsip
interpolasi nilai seperti pada algoritma bilinear interpolation, tetapi dengan
mempertimbangkan nilai 16 pixel disekitarnya.
Disebutkan belakangan tentunya kurang tepat apabila
diterapkan pada citra-citra saluran asli karena nilai baru hasil interpolasi
tidak lagi mewakili pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenarnya. Oleh
karena itu, dua algoritma ini kurang tepat apabila deterapkan lebih sesuai
untuk menerapkan resampling nilai pada citra model medan digital. Bilinear
interpolation akan menghasilkan kenampakan yang jauh lebih halus daripada
nearest neighbour, sedangkan cubic convolution justru akan menghasilkan citra
dengan kenampakan yang tiadak terlalu diperhalus. Algoritma nearest neighbour
lebih sesuai diterapkan pada citra saluran-saluran asli dan juga hasil
klasifikasi, namun dengan resiko kenampakan linear yang terpatah-patah.
d. Distribusi
GCP
Distribusi spasial titik-titik kontrol lapangan atau GCP
sering kali diabaikan dan analisis atau pengguna kadangkala hanya melihat nilai
absolut dari RMSE-nya saja. Dari rumus-rumus yang ada, kita bisa melihatnya
bahwwa sebenarnya perhitungan RMSE pada dasarnya mengabaikan distribusi
titik-titiknya. Hasil RMSE yang kecil belum merupakan jaminan bagi bagusnya
hasil koreksi geometri secara spasial. RMSE yang sedikit lebih besar kadang-kadang
merupakan hasil yang optimal apabila kondisi medan cukup berat dan titik-titik
kontrol sulit dijumpai.
Cara yang paling baik untuk mengetahui apakah suatu citra
telah terkoreksi geometri dengan baik adalah dengan mengeplot peta vektor
meliputi jaringan jalan, batas-batas penutup lahan, jaringan jalan dan sungai
di atas citra koreksi. Apabila RMSE relatif kecil namun hasil pengeplotan fitur
topografi justru memperlihatan banyaknya penyimpanan posisi penampakan hasil
koreksi maka sebaiknya proses koreksi geometri perlu diulang, dengan
membatalkan dan mengambil kembali titik-titik kontrol atau GCP. Gambar 5.6
memberikan panduan sederhana tentang bagaimana dan dimana dan dimana GCP
diambil untuk kondisi fisiografis tertentu.
5.2.2 Koreksi/kalibrasi radiometri
citra.
Koreksi radiometri diperlukan atas dasar dua alasan, yaitu
untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai
pixel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yang
sebenarnya. Koreksi radiometri citra yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas
visual citra berupa pengisian kembali baris yang kosong karena drop-out baris
maupun masalah kesalahan awal pemindaian. Baris atau bagian baris yang bernilai
tidak sesuai dengan yang seharusnya dikoreksi dengan mengambil nilai pixel satu
baris di atas dan dibawah, kemudian dirata-ratakan (guindon, 1984, dan dalam
jensen, 2005). Kereksi radiometri yang ditunjukan untuk memperbaiki nilai pixel
supaya sesuai dengan yang seharusnya juga bisa dilakukan dengan
mempertimbangakan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Pada
koreksi ini, diasumsikan bahwa nilai pixel terendah pada suatu kerangka liputan
seharusnya nol, sesuai dengan bit-coding sensor. Apabila nilai terendah pixel
pada kerangka liputan tersebut bukan nol maka nilai penambah tersebut dipandang
sebagi hasil dari hamburan atmosfer.
a. Penyesuaian
histogram
Metode ini merupakan pilihan yang paling sederhana dengan
hanya melihat histogram disetiap saluran secara independen. Dari histogram
dapat diketahui nilai pixel terendah saluran tersebut. Asumsi yang melandasi
metode ini ialah bahwa dalam proses koding digital oleh sensor, objek yang
memberikan respons spektral paling lemah atau tidak memberikan respons sama
sekali seharusnya bernilai 0. Apabila nilai ini ternyata >0 maka nilai
tersebut dihitung sebagai offset, dan koreksi dilakukan dengan mengurang
keseluruhan nilai pada saluran tersebut dengan offsetnya. Dengan kata lain ,
besarnya offset menunjukan besarnya pengaruh gangguan oleh atmosfer.
Metode penyesuaian histogram juga dapat diterapkan pada
citra yang telah terkoreksi atau terkalibrasi kenilai pantulan yang tercatat
sensor. Dengan metode ini maka histogram yang dievaluasi adalah histogram nilai
pantulan pada sensor yang berupa angka pecahan. Dalam kasus ini, metodenya
disebut dark ground feature subtraction untuk koreksi atmosfer sederhana.
b. Penyesuain
regresi
Penyesuaian regresi diterapkan dengan memplot nilai-nilai
pixel hasil pengamatan pada beberapa saluran pada beberapa saluran sekaligus.
Hal ini dapat di terapkan apabila ada saluran rujukan yang menyajikan nilai 0
untuk objek tertentu, misalnya saluran TM7 untuk air jernih, dalam dan tenang.
Kemudian, setiap saluran dipasangkan dengan saluran rujukan tersebut untuk
membentuk diagram pencar nilai-nilai pixel yang diamati (gambar 5.8).
Cara ini secara teoritis dapat diterima, tetapi dalam
praktik sulit diterapkan karena sebenarnya gangguan etmosfer terjadi pada
hampir semua spektral tampak dan pantulan. Di samping itu, tiadak semua liputan
citra mempunyaii objek berupa air jernih, dala, dan tenag. Objek yang secara
gradual berubah naik nilainya, pada kedua saluran sekaligus dan bukannya hanya
pada salah satu saluran.
c.
Penggunaan “feature space”
Metode lain ditawarkan oleh bronsveld (1991), metode ini di
mamfaatkan gambaran feature space hasil pengeplotan pixel-pixel pada saluran
hijau melawan inframerah dekat dan saluran merah melawan inframerah dekat.
Hasil pengeplotan keseluruhan pixel akan memberikan kenampakan imasiner berupa
garis vegetasi dan garis tanah (gambar 7.2). pertemuan kedua garis ini di
asumsikan harus bertemu dititk asal objek air jernih, tenang, dan dalam, atau
objek bayangan lereng yang sangat curang. Apabila ternyata titik pertemuan ini
tidak pada koordinat, maka nilai offset pada kedua saluran dapat dihitung
(gambar 5.9).
d. Metode
kalibrasi bayangan
Gastellu-etchegorry (1998), merupakan metode kalibrasi
bayangan untuk mengoreksi faktor gangguan atmosfer. Secara ringkas metode ini
mempertimbangkan imbangan energi elektromagnetik yang masuk ke atmosfer bumi
serta kenampakan permukaan bumi yang tertutup bayangan. Analisis irrandiasi
yang dari wilayah yang tak tertutup bayangan. Akan menghasilkan nilai radiasi
umbalan atmosfer ;
Dimana Et merupakan irradiansi spektral pada objek di
permukaan bumi yang berasal dari matahari dan angkasa, sedangkan Es merupakan
irradiansi spektral pada objek di permukaan bumi yang berasal dari matahari.
Simbol-simbol lain dijelaskan berikut ini ;
Dari
persamaan tersebut diperoleh;
Secara praktis pembacaan pasangan kelompok pixel pada
wilayah yang tak tertutup awan akan memberikan nilai Eis, sedangkan nilai
kelompok pixel hasil pembacaan pada wilayah yang tertutup awan memberikan nilai
Eis. Pemplotan nilai Eis sumbu Y dan X memberikan persamaan regresi dan
persamaan ini akan memberikan nilai parameter A alfa dan D alfa. Besarnya D
alfa menunjukan besarnya bias nilai spektral pada seluruh liputan citra karena
umbalan atmosfer. Nilai baru ditentukan berdasarkan pengurangan nilai pixel
pada citra asli dengan nilai bias. penggunaan formulasi ini untuk koreksi
radiometri citra dapat dilihat pada gastellu-etchegory (1998) atau ( 1989).
e.
Kalibrasi relatif antarcitra
Kadang kala suatu penelitian pengindraan jauh memerlukan
data multitemporal, bahkan bukan hanya dua atau tiga tanggal melainkan bisa
lebih dari itu. Analisis spektral citra memerlukan informasi lengkap mengenai
paremeter-paraneter radiometri sensor dan saat perekaman. Sayangnya, data
semacam itu belum tentu tersedia secara lengkap. Salah satu alternaytif
penyelesain agar analisis multitemporal dan juga analisis multidata yang
melibatkan dua macam citra digital dari sensor yang berbeda-beda dijalankan
dengan menggunakan basis informasi spektral adalah kalibrasi relatif.
Kalibrasi relatif merupakan proses pengubahan nilai pixel
dari satu beberapa data digital citra. Dengan mengacu pada nilai pixel untuk
objek yang sama pada citra yang sama pada citra yang berbeda, baik yang di
hasilkan pada waktu yang berbeda. Kalibrasi di perlukan karena nilai pixxel
yang sama pada 2 saluran yang sama, namun diperoleh pada waktu ataupun oleh sensor yang berbeda, belum tentu
menunjukan objek yang sama. Begitu pula sebaliknya, objek yang sama pada
saluran yang sama, namun direkam. Pada waktu yang berbeda atau oleh sensor yang
berbeda, belum tentu menunjukan nilai yang sama pula, (gambar 5.10 )
menjelaskan hal ini.
2.
Kalibrasi dengan data dari luar citra
Penggunaan
metode-metode koreksi atau kalibrasi yang telah di jelaskan bagian terdahulu
kadang-kadang masih menyisakan masalah. Misalnya, pengkaitan antara suatu nilai
piksel (respon spektral) dengan nilai atau kondisi biofisik tertentu kadang
kala menuntut informasi yang lebih akurat. Sebelum bercampur dengan tambahan
informasi spektral dari radiansi atmosfer (path radiance). Kebutuhan semacam
ini semakin terasa ketika data nilai spektral citra perlu dibandingkan dengan
data hasil pengukuran radiansi spektral dilapangan.
Secara
ringkas , mather (2004) menyatakan bahwa ada lima faktor yang berpengaruh
terhadap sinyal yang diterima dari objek (dan dicatat) oleh detektor pada
sensor , yaitu:
1.
Pantulan atau reflektansi objek
2.
Bentuk dan besaran interaksi
atmosfer
3.
Kemiringan dan arah hadap lereng
(aspect) tempat objek berada relatif terhadap azimut matahari
4.
Sudut pandang sensor
5.
Sudut ketinggian matahari
Kalibrasi
atau koreksi radiometri dengan menggunakan data dari luar citra bisa di kelompokan menjadi dua
yaitu ;
· Kalibrasi berbasis data empiris melalui pendekatan statistik
· Kalibrasi melalui pemodelan fisikal
a. Kalibrasi berbasis data empiris : penyesuaian regresi
berbasis data spektral lapangan
Teknik
koreksi radiometri dengan menggunakan data empiris hasil pengukuran lapangan
juga bisa diterapkan dengan penysuaian regresi (gambar 5.11). Untuk menerapkan
koreksi maka dua jenis objek dipilih secara cermat, dimana masing –masing
memiliki objek barona gelap dan objek barona cerah dilapangan. Tentu saja
pilihan gelap terang ini harus mengacu pada wilayah panjang gelombang saluran
yang akan dikoreksi
b. Landsat enhanced thermatic Mopper plus(ETM+)
et al. (1986 1990) dan kemudian diperbaiki menjaddi model 6s
(second simulation of the sensor signal in the solar spectrum) (vermote et.al 1997). Model-model ini mampu
mensimulasikan permukaan non-Lambertian untuk memodelkan sinyal yang diukur
oleh sensor. Tso and mather (2009) menyebutkan bahwa model 6s juga melibatkan
data untuk perhitungan absorbsi atmosfer menggunakan nilai yang meningkat untuk
gas-gas atmosfer
Dalam
model ini , ada asumsi bahwa satu paket irradiansi matahari utuh datang
mencapai bagian teratas atmosfer sebagian dari iradiansi yang datang kemudian
di hamburkan disepanjang jalur antara matahari dan objek dipermukaan bumi ke
atmosfer,sementara sisanya mampu mencapai objek target di bumi sebagagi radiasi
matahari langsung.
Dimana
T adalah kedalaman optis 0s adalah unitzenit matahari. Sementara itu ,sebagian
dari sinar matahari yang dihamburkan ke atmosfer juga memberikan sumbangan
iluminasipada terget objek di permukaa bumi. Apabila hal ini bisa dipandang
sebagaipantulan baur bagi atmosfer (difusse skylight).dengan notasi 0d maka konstribusinya
terhadap transmintasi atmosfer T0sdirumuskan sebagagi berikut:
e.kalibrasi sensor : Pantulan yang diterima sensor
(At-sensor Reflectance)
Hasil
kalibrasi sensor untuk memperoleh nilai radiasi spektral. Sebenarnya adalah
nilai energi yang dicatat oleh sensor (apparance radiance) yang merupakan
kombinasi pantulanobjek di tambah gangguan atmosfer yang sampai ke sensor.
Untuk menekan pengaruh gangguan atmosfer maka rumus perhitungan pantulan pada
permukaan objek berikut bisa di gunakan:
Mather (2004) menyebutkan bahwa
faktor koreksi untuk d diperlukan karena terdapat variasi radiansi spektral
sehingga 3,5% dalam setahun nilai d bisa dihitung dengan rumus berikut:
f.kalibrasi berbasis model transfer radiasi (radiative
transfer model)
kebanyakan
metode koreksi atau kalibrasi citra dilakukan secara manual dalam arti
perangkat lunak menyediakan semacam image calculatoryang secara fleksibel dapat
dimanfaatkan berbagai operasi matematis dengan memasukan nama berkas citra.
Algoritma model transfer radiasi
citra untuk koreksi pengaruhatmosfer dapat melakukan hal sepertitelah
dijelaskan sebelumnya, beberapa informasi umum yang diperlukan oleh
algoritma-algoritma koreksi atmosfer berbasis transfer radiasi misalnya:
· Posisi lintang-bujurliputan citra
· Tanggal dan waktu rinci perekaman
· Ketinggian perekaman diatas permukaan medan
· Elavasi rerata liputan citra
· Model atmosfer, misalnya wilayah tropis, lintang sedang
dimusim panas, dan musim dingin
· Data radiansi spektral citra yang telah dikalibrasi secara
radiometri
· Informasi tentang setiap saluran secara spesifik
· Kejernihan atmosfer setempat
Berdasarkan
informasi tersebut maka program akan melakukan komputasi karakteristik serapan
dan hambatan pada perekaman data.
Beberapa rumus untuk model-model
tansfer radiasi disajikan secara ringkas
berikut ini,berdasarkan deskripsi dari jansen(2005).
1.ACORN(AtmosphericCorrection Now)
program
ini menggunakan kode transfer radiasi MODTRAN-4. Total radiansi spektral yang
diukur oleh sensor Ls dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apabila semua parameter yang
dilibatkan telah diturunkan maka pantulan yang telah diskalakan dapat
dikomputasi dengan rumus sebagai berikut:
2.ATREM( The atmospheric removal program )
yang
dkembangkan oleh cebter for the study of earth from space (CSES), universtas
Colorado. ATREM mempertimbangkan jumlah hamburan Rauleigh yang masih ada dalam
model 6s serta model aerosol yang di spesifikasin oleh pengguna.
3.FLAASH (Fast line-of-sightAtmosphericanalysis of spectral Hypercubes)
dikembangkan
di perangkat lunak ENVI, oleh spectral sciencesinc. Program FLAASH mengoreksi
citra dengan cara menggunakan menghilangkan efek uap air, oksigen, karbon
dioksida, metanan , ozon dan hambatan hamburanmolekural maupan aerosol
berdasarkan kode transfer radiasi MODTRAN4, koreksi ini di terapkan pada setiap
piksel. Citra ini juga menghaasilkan citra uap air, citra awan, dan nilai untuk
kejernihan pandang.(visibility)
4.ATCOR(atmospheric correction
pada
awalnya dikembangkan di jerman . ATCOR terdiri dari tiga modul , yaitu ATCOR2
untuk medan datar,ATCOR3 untuk medan yang kasar ,dan ATCOR4 untuk citra yang
diperoleh dari sistem pengindraan jauh sub orbital.koreksi atmosfer yang
diterapkan pada algoritma-algoritma ini juga memanfaatkan kode transfer radiasi
pada MODTRAN 4+ untuk mengalkulasi lookup table (LUT).
DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro.p. 2012 Pengantar Penginderaan Jauh Digital.
Yogyakarta: Andi