MATERI KULIAH KE 4
BAB
4 STATISTIK DAN ALJABAR CITRA UNTUK VISUALISASI DAN ANALISIS DATA PENGINDERAAN
JAUH
Bab ini memberikan pengantar
tentang beberapa aspek statistik yang digunakan dalam analisis dan visualisasi
citra digital. Sebagai pengantar, tentu saja tidak semua hal yang bersifat
teoritis mengenai statistik dipaparkan dalam pembahasan kali ini.
4.1
STATISTIK CITRA
Citra seperti yang sudah dijelaskan
pada bab-bab sebelumnya, merupakan sekumpulan piksel dengan nilai tertentu yang
mewakili besarnya pantulan atau pancaran spektral objek yang terekam oleh
sensor. Dengan demikian, suatu berkas citra tidaklah tersusun atas sekumpulan
piksel yang benar-benar homogen, melainkan terdiri dari suatu populasi piksel
yang meakili kenyataan di lapangan yaitu beragam jenis penutup lahan dengan
beragam karakteristik yang terwakili oleh nilainya.
Seorang analisis citra biasanya melakukan observasi
dan evaluasi awal suatu data digital penginderaan jauh melalui beberapa
aktivitas berikut (Jensen,2005) :
1. Mengamati
frekuensi kemunculan nilai-nilai kecerahan (brightness value,BV) secara
individual suatu citra dalam bentuk histogram
2. Mengamati
nilai BV piksel secara individual pada layar monitor komputer pada suatu lokasi
tertentu atau didalam suatu area geografis
3. Melakukan
komputasi mendasar dalam hal statistik deskriptif inivariat piksel-pikselnya,
untuk menentukan apakah ada anomali atau penyimpangan yang tidak lazim dalam
data citra tersebut
4. Melakukan
komputasi statistik multivariat untuk menentukan besarnya korelasi antarsaluran
(misalnya untuk melihat adanya redundansi data)
4.1.1 Notasi Matematis untuk Statistik Pengolahan
Citra
Notasi berikut ini sering kali digunakan dalam
analisis citra.
i = suatu baris dalam citra
j = suatu kolom (atau sampel) dalam citra
k = suatu saluran spektral pada citra
l = saluran spektral yang lain pada citra
n = jumlah total piksel dalam suatu citra
BVjk = nilai kecerahan (brightness value) piksel
pada baris kolom j, saluran k
BVik = nilai kecerahan piksel ke-i pada saluran k
BVil = nilai kecerahan piksel ke-l pada saluran k
Mink= nilai kecerahan minimum pada saluran k
Maxk= nilai kecerahan maximum pada saluran k
Rangek= julat nilai kecerahan aktual pada saluran k
quantk = kuantitasi atau tingkat bit-coding untuk
saluran k (misalnya 28 = 0-255)
µk = nilai rerata piksel pada saluran k
vark = variansi nilai piksel pada saluran k
sk simpangan baku nilai piksel saluran k
skewnessk = kemencengan distribusi nilai piksel pada
saluran k
kurtosisk = kurtosis nilai piksel pada saluran k
covkl = kovariansi antar nilai-nilai piksel pada dua
saluran k dan l
rkl = korelasi antar nilai-nilai piksel pada dua
saluran k dan l
Xc = vektor pengukuran untuk kelas c yang tersusun
atas nilai kecerahan BV ijk dari baris i, kolom j dan saluran k
Mc = rerata vektor untuk kelas c
Mcd = rerata vektor untuk kelas d
µck = nilai rerata untuk data pada kelas c, saluran
k
Sck = simpangan baku data pada kelas c untuk saluran
k
Vckl = matriks kovariansi kelas c untuk saluran k
hingga l, yang ditunjukan sebagai Vc
Vdkl = matriks kovariansi kelas d imtuk saluran k
hingga l, yang ditunjukan sebgai Vd
4.1.2 Tendensi
Sentral: Rerata, Kemencengan, dan Simpangan Baku
Sama halnya dengan statistik
populasi yang lain, tendensi sentral suatu citra menggambarkan pola distribusi
nilai kecerahan piksel (BV) dalam citra tersebut. Rumus-rumus berikut ini
memberikan gambaran bagaimana suatu cityra yang merupakan kumpulan piksel
dengan berbagai nilai mempunyai pola statisti tertentu. Tendensi sentral suatu
citra menunjukan kecenderungan distribusi nilai-nilai yang ada dalam suatu
citra yang bisa ditunjukan dala bentuk histogram.
Nilai
rerata (mean) µk = (4.1)
Nilai rerata citra suatu saluran yang rendah
akan ditunjukan oleh tampilan citra (asli) yang relatif gelap. Kalau pun
terdapat kenampakan kontras didalamnya, secara keseluruhan akan diperoleh kesan
bahwa citra tersebut berona relatif gelap. Sebaliknya, nilai rerata citra suatu
saluran yang lebih tinggi diwakili oleh kenampakan citra yang relatif cerah,
baik terlihat kontras maupun tidak. Selain nilai rerata µk, ada ukuran tendensi
sentral yang lain, yaitu median,modus, simpangan baku, dan kemencengan.
Rumus-rumus untuk masing-masing parameter adalah sebagai berikut.
Dua
citra hipotetik (Gambar 4.2) dan dua citra sebenarnya (Gambar 4.3) berikut ini
mempunyai nilai rerata µk yang berbeda, dimana µk pertama lebih rendah dari pada µk yang kedua.
4.1.3 Variansi, Kovariansi, dan Korelasi
Variansi atau ragam (vark)
merupakan salah satu tolak ukjr keberagaman nilai suatu himpunan data. Dalam
hal ini, citra merupakan suatu himpunan data nilai piksel sehingga nilai
variansi suatu saluran citra merupakan gambaran tentang keberagaman nilai
piksel yang ada pada citra tersebut. Variansi merupakan nilai kuadrat dari simpangan
baku sehingga dapat dirumuskan sebagi berikut :
Sebenarnya, baik simpangan baku
maupun variansi merupakan parameter sebaran data (data spread). Keuntungan
penggunaan simpangan baku Sk ialah bahwa
parameter ini dinyatakan dalam satuan pengukuran yang sama dengan data
pengamatan asli; sementara variansi dinyatakan dalam satuan kuadratnya
(Stein,1999).
Apabila tidak ada hubungan antara
satu nilai piksel pada suatu saluran dengan nilai piksel yang sama pda saluran
lain mka kedua nilai tersebut saling independen, dalam arti bahwa perubahan
nilai piksel pada suatu saluran tidak diikuti dengan perubahan nilai piksel
yang dapat diprediksi pada saluran lain. Karena pengukuran nilai-nilai spektral
piksel tidak dapat independen maka suatu ukuran untuk interaksi antarsaluran
itu diperlukan, yaitu dalam bentuk kovariansi,
Kovariansi antara dua saluran k dan l (covkl) dapat
dinyatakan dengan rumus berikut ini (Jensen,2005)
Dimana covkl adalah nilai kovariansi antara kedua
saluran k dan l, sedangkan Sk dan Sl berturut-turut adalah nilai simpangan baku
piksel-piksel di saluran k dan l.
Tabel matriks variansi-kovariansi secara sederhana
meberikan gambaran bahwa sepasang saluran yang masing-masing mempunyai nilai
variansi tinggi akan cenderung mempunyai nilai kovariansi tinggi pula.
Sebaliknya, sepasang saluran yang masing-masing mempunyai nilai variansi rendah
akan menunjukan nilai kovariansi antarsaluran yang rendah pula.
Gambar 4.4 citra landsat ETM+ wilayah Maros,
Sulawesi Selatan, dimana urutan saluran-saluran
a (biru), b (hijau), c (merah), d (Inframerah
dekat), e (Inframerah tengah), dan f (inframerah jauh). Keenam saluran ini yang
dijadikan contoh perhitungan variansi-kovariansi pada halaman sebelumnya.
4.2 ALJABAR CITRA
Banyak operasi pengolahan citra
bertumpu pada operasi titik (point operation), disamping perhitungan statistik
citra dan operasi ketetanggaan (neighbourhood operation). Operasi titik yang
dimaksud disini adalah bahwa target operasi pengolahan difokuskan pada nilai
piksel (BV) tertentu, dimana pun titik piksel itu berada. Misalkan kita ingin
menunjuk pada suatu nilai 20 maka melalui operasi titik sembarang piksel dalam
suatu citra dengan nilai 20 akan diperlukan sama.
4.2.1 Prinsip Dasar Aljabar Citra
Liu dan Mason (2009) secara
spesifik memandang aljabar peta yang diterapkan pada citra merupakan kelompok
operasi titik multipeta ( multi image point operations). Operasi ini
berlangsung secara multivariat, di mana jumlah saluran menggantikan jumlah
variabel dan dijalankan pada piksel demi piksel secara independen tanpa
mempertimbangkan kondisi piksel-piksel yang bertetangga. Secara umum terlihat
pada fungsi berikut :
Y = f
(X1,X2.X3,.... Xn),
Dimana n adalah jumlah saluran atau lapisan.
Perlu ditekankan disini bahwa operasi aljabar citra
(atau peta) sepenuhnya bersifat lokal, berbasis pixel to pixel. Untuk itu dapat
diturunkan suatu deskriptor. Xi adalah citra, dimana i= 1,2,3 .... n, yang
merepsentasikan baik saluran ke-i maupun sembarang pixel di dalam saluran ke i
himpunan data citra X, dimana Xi € X.
4.2.2 Jenis-jenis Operasi Aljabar Citra
1. Penjumlahan Citra
Penjumlahan
citra menghasilkan citra baru hasil penjumlahan dengan nilai baru yang diberi
bobot. Secara umum hal itu dapat dirumuskan sebagai berikut:
Y =
......................................... (4.8)
Dimana Y adalah citra baru, Wi adalah bobot citra
masukan Xi, dan k adalah faktor skala. Jadi, apabila Wi sama dengan 1 untuk i =
l,......., n dan k = n, maka rumus diatas menghasilkan citra rerata dari
seluruh citra masukan.
Gambar 4.5 atas : penjumlahan citra dengan
menggunakan nilai piksel asli memberikan citra baru dengan nilai atau julat
melebihi kondisi asli dan bisa menyebabkan penyimpangan dalam tingkat bit yang
lebih tinggi. Bawah : masing-masing saluran masukan diberi bobot (dalam hal ini
bernilai 1) dan dinagi dengan jumlah saluran masukan (4). Hasilnya merupakan
nilai rearata dan masih masuk di dalam julat nilai asli.
Penjumlahan citea bisa diterapkan pada sekumpulan
saluran pada citra multispektral (gambar 4.5) mengingat bahwa setiap piksel
pada suatu citra saluran i dapat terkontaminasi oleh derau (noise), sementara
piksel yang memuat derau tidak muncul pada sembarang posisi yang sama pada
saluran-saluran yang berbeda, maka penjumlahan citra dengan efek mereratakan
seluruh nilai pada seluruh saluran akan ‘membagi’ derau pada satu piksel dengan
jumlah saluran yang ada (Liu dan Mason, 2009).
2. Pengurangan Citra
Seperti halnya penjumlahan citra, pengurangan citra
juga memperhatikan jumlah dan bobot citra masukan. Rumusnya adalah sebagai
berikut :
Y
= (Wi Xi – Wj Xj )
............................................... (4.9)
Dimana Xi dan Xj berturut-turut adalah citra saluran
i dan j; sementawa Wi dan Wj masing-masing adalah bobot dari citra Xi dan Xj.
Liu
dan Mason (2009) menegaskan bahwa dalam pengurangan citra, besarnya bobot citra
masukan sangatlah penting, sebagai contoh, apabila citra masukan Xi mempunyai
kontras yang jauh lebih tinggi daripada Xi maka selisih keduanya dengan
menggunakan bobot Wi dan Wj tidak akan menggambarkan selisih yang sebenarnya.
Untuk itu, diperlukan suatu pra-pemrosesan yang antara lain menggunakan teknik
histogram matching, dimana histogram kedua citra disesuaikan terlebih dahulu
untuk menghasilkan pola dan julat yang kurang lebih sama. Apabila beda kontras
antara kedua citra Xi dan Xj tidak terlalu besar maka nilai bobot Wi dan Wj = 1
bisa digunakan.
3. Perkalian Citra
Perkalian citra didefeniskan sebagi berikut:
Y = Xi . Xj .................................................
(4.10)
Dimana Y adalah citra baru hasil perkalian,
sementara Xi dan Xj berturut-turut adalah citra saluran i dan j. Dalam
perkalian ini setiap nilai piksel pada suatu posisi baris dan kolom dalam citra
i dikalikan dengan setiap nilai piksel pada posisi baris dan kolom yang sama
pada citra j. Perkalian terjadi dengan cara demikian karena meskipun citra pada
dasarnya adalah suatu array 2 dimensi, tetapi citra bukanlah matriks sehingga
operasi perkaliannya tidak sama dengan operasi perkalian pada matriks.
Gambar 4.6 Perkalian citra tanpa penskalaan kembali
hasil perkalian (citra Y, atas) dan dengan penskalaan melalui operasi akar
kuadrat (citra Y, bawah )
Syarat lain harus dipenuhi dalam perkalian citra
adalah bahwa kedua citra i dan j yang terlibat memiliki referensi spasial yang
sama. Dalam paket pengolah citra digital murni, hal ini bisa dipenuhi oleh dua
citra i dan j yang mempunyai ukuran piksel yang sama.
Hasil perkalian citra adalah citra baru dengan nilai
yang jauh lebih besar dari nilai maksimum pada citra masukan (asli). Kondisi
dengan nilai yang jauh lebih besar ini bisa berdampak pada tidak jelasnya
gambar yang tersaji pada citra, kecuali melalui mekanisme perentangan kontras
yang proporsional. Cara lain adalah dengan menerapkan operasi akar terhadap
rumus asli :
Y =
................................................................. (4.11)
4. Pembagian citra
Pembagian citra secara sederhana dapat dirumuskan
sebagai berikut.
Y =
..............................................................................
(4.12)
Sama halnya dengan rumus-rumus terdahulu terkait
dengan aljabar citra, Y menyatakan citra baru hasil komputasi, sementara Xi dan
Xj berturut-turut mewakili citra saluran i dan saluran j. Hal penting yang
perludiperhatikan disini adalah adanya kemungkinan bahwa penyebut ( piksel pada
citra Xj) bernilai 0. Apabila hal ini terjadi maka nilai tak terdefenisikan
pada citra keluaran Y akan dihasilkan. Untuk mengatasi masalah semacam ini,
kadang kala julat nilai 0-255 pada citra Xj terlebih dahulu digeser menjadi
1-256, meskioun hal ini juga menjadikan masalah bagi sistem yang hanay bisa
menyimpan pada julat 0-255. Cara lain adalah melalui pengondisian logis untuk
setiap perhitungan yang melibatkan penyebut bernialai 0 agar diberi hasil
dengan nilai maksimum.
5. Indeks
Dalam analisis citra digital
multispektral, kita akan banyak akan berurusan dalam indeks spektral. Indeks
spektral merupakan suatu operasi global pada citra yang melibatkan dua saluran
spektral atau lebih dalam bentuk aljabar citra. Indeks-indeks ini dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan, misalnya untuk penonjolan aspek kerapatan vegetasi,
penonjolan aspek tanah dan batuan, dan juga penonjolan aspek kerapatan bangunan
kekotaan.
Contoh operasi aljabar sederhana untuk indeks
vegetasi adalah Ratio Vegetation index (RVI) dengan rumus :
RVI
..........................................................................
(4.13)
Yang pada dasarnya merupakan bentuk
nisbah sederhana (simple ratio) contoh lain adalah Normalised Difference
Vegetation Index (NDVI) yang sangat populer dalam berbagai kajian vegetasi dan
lingkungan yang memerlukan parameter kerapatan vegetasi. Rumus NDVI adalah
sebagai berikut.
NDVI
= ..........................................................................
(4.13)
Model-model indeks lain yang bertumpu pada aljabar
citra bisa dibaca pada bab 7.
6. Penggunaan
Operator Matematis Lain
Disamping operasi aritmetik,
pengolahan citra juga dapat melibatkan operator matematis lain, seperti fungsi
algoritma natural (In) dan fungsi-fungsi trigonometrik ( sin,cos,tan,arctan,
dan sebagainya). Sama halnya dengan formula terdahulu, penerapan suatu fungsi
matematis terhadap citra Xi atau Xj cukup disajikan dengan menuliskan fungsi
matematis di depannya, misalnya:
Y = In
(Xi) + In (Xj) .................................................. (4.15)
Y =
sin (Xi) – cos (Xj) ............................................... (4.16)
7. Standarisasi Saluran Spektral
Ada lagi jenis operasi aljabar citra yang disebut
standarisasi. Operasi ini melibatkan beberapa saluran spektral dan biasanya
ditujukan untuk menghasilkan saluran-saluran individual dalam himpunan data
(dataset) multispektral yang relatif lebih bebas pengaruh/efek bayangan. Secara
umum rumus untuk standarisasi saluran-saluran individual adalah sebagi berikut
(Liu dan Mason, 2009):
Yi = Dimana Yi adalah citra baru (saluran baru)
saluran yang distandarisasi, Xi adalah citra saluran lama i yang menjadi
masukan, dan k adalah jumlah saluran dengan rentang dari 1,2,3...., hingga λ. Sebagai
contoh, kalau kita punya citra multispektral Ikonos dengan 4 saluran spektral
(biru/B, hijau/H, merah/M, dan inframerah dekat/IMD), maka setiap nilai
kecerahan di setiap saluaran bisa distandarisasi dengan cara :
Dengan cara standarisasi ini variasi spektral
antarsaluran, khususnya pada tingkat piksel, dapat dipertajam dengan lebih baik
karena menggunakan nilai penyebut yang sama.
4.3 VISUALISASI CITRA
Citra digital sebagai data biner sebenarnya
tidak disimpan sebagai ‘citra’ yang sesungguhnya. Telah disebutkan pada bab
terdahulu bahwa citra digital, meskipun disimpan dalam berbagai format,
tidaklah menggambarkan ruang dalam arti yang sebenarnya. Informasi yang jelas
ada dalam data digital ini hanyalah angak dengan kisaran 0-255, kalau data
disimpan dalam 8 bit-coding, 0-511 kalau disimpan dalam 9 bit-coding, 0-1023
kalau disimpan dalam 10 bit-coding, dan seterusnya. Bila angka ini, dipandang
sebagai representasi nilai respons spektral yang tercatat oleh sensor, maka
kita dapat mengatakan bahwa data digital ini tersimpan dalam domain spektral.
4.3.1 Tampilan Monokromatik
Nilai kecerahan atau nilai digital
ini kemudian dipresentasikan pada layar monitor dengan mengikuti konvensi bahwa
nilai sangat rendah (dalam hal ini 0) disajikan dengan rona sangat gelap atau
hitam; sementara nilai sangat tinggi disajikan dengan rona sangat cerah atau
putih. Hal ini selaras dengan persepsi mata manusia bahwa sesuatu yang gelap
berkorelasi dengan tingkat pantulan yang sedikit (rendah), sedangkan sesuatu
yang cerah berkorelasi dengan tingkat pantulan yang banyak (tinggi).
4.3.2 Citra Komposit Warna
1. Teori
Kubus Warna
Sejak di sekolah dasar dan menengah,
kita diajarkan tentang pengertian bahwa kenampakan warna sebenarnya tersususan
atas tiga warna dasar, yaitu biru,hijau, dan merah. Warna-warna lain muncul
sebagai kombinasi dari warna-warna dasar tersebut. Pengertian ini didasari oleh
teori kubus warna (Gambar 4.7), dimana warna merah, hijau, dan biru diletakan
berturut-turut pada sumbu merah,hijau, dan biru. Besarnya nilai di sepanjang
masing-masing sumbu mewakili kekuatan sinyal atau intensitas masing-masing
warna, yang kalau dikonversi menjadi sistem digital menjadi 0-255, 0-511,
0-1023 dan seterusnya, tergantung pada kepekaan sensor yang digunakan.
Apabila tidak ada warna biru maka kombinasi
intensitas warna merah maksimumm dengan intensitas warna hijau maksimum akan
menghasilkan warna kuning. Jika warna merah tidak ada maka kombinasi intensitas
warna hijau maksimum dengan intensitas warna biru maksimum akan menghasilkan
warna cyan. Kalau warna hijau yang tidak ada maka kombinasi intensitas merah
maksimum dengan intensitas warna biru maksimum akan menghasilkan warna magenta.
Penyusun warna semacam ini disebut penyusun warna aditif, di mana warna-warna
primer (biru,hijau, dan merah) menjadi komponen penyusunnya.
Berdasarkan teori kubus warna (RGB colur cube) ini,
citra beberapa saluran dapat disajikan pada layar monitor dan kemudian dicetak.
Satu himpunan data 9dataset) citra multispektral dapat terdiri atas tiga
saluran, yang masing-masing dapat diberi warna biru,hijau dan merah. Namun
tidak jarang dijumpai, satu dataset terdiri dari empat,tujuh dan bahkan belasan
saluran spektral. Satu dataset citra hiperspektral bisa terdiri dari 220
saluran spektral, dan secara sederhana hanya tiga diantaranya yang dapat
dipilih untuk menyusun citra komposit, yaitu citra berwarna yang tersusun atas
3saluran, yang masing-masing diberi wana biru,hijau dan merah.
2.
Teori warna IHS (intensity-hue-saturation)
Teori warna dengan kubus RGB tidak dapat menjelaskan
seberapa murni dan seberapa jenuh komponen warna larena dalam komponen itu
setiap warna diwakili oleh sumbu X, Y dan Z hanya menentukan tingkat intensitas
warnanya saja. Untuk mengatasi kelemahan ini, teori lain digunakan, yaitu yang
disebut IHS.
Ketiganya merupakan komponen-komponen yang
independen intensitas merupakan tingkat dari intensitas kemerahan,kehijauan,
dan kebiruan.seperti yang ditunjukan oleh kubus RGB hue adalah komponen warna
untuk meneunjukan warna itu sendiri saturationa merupakan ukuran untuk
menenjukan seberapa murni/jenuh warnanya, dikaitkan dengan pencampuran oleh
warna putih. Semakin pucat warnanya, semakin rendah saturationnya. Semakin
rendah intensitasnya, semakin gelap mendekati hitam objeknya. Semakin tinggi
intensitasnya hue, maka semakin merah objeknya.
a. Tranformasi IHS berdasarkan RGB
Ada beberapa pandangan dan teori tenteng nilai
kuantitatif IHS jika dikaitkan dengan nilai RGB, berikut komponen rumus warna
dalam IHS menurut jansen (2005), liu dan mason (2009), dan gao, (2010).
Berdasarkan rumus transformasi ini, nilai I, H, dan S suatu citra yang
setidaknya tersusun atas 3 saluran RGB sebagai berikut:
I = R + G + B (jensen,
2005)…………………………………………………………...(4.22)
Sementara itu ,liu dan mason merumuskan intensiti
sebagai berikut;
I = ( R + G +
B ) (liu dan mason, 2009)……………………………………………..(4.23)
Disamping itu, gao (2010) merumuskan dengan sedikit
berbeda yaitu;
I = (Gao,
2010)……………………………..…………………………………(4.24)
Sepintas ketiga rumus tersebut membingungkan,
miskipun demikian apabila kita lihat kembali keprinsip aljabar citra pada bab
ini , maka rumus tersebut adalah selaras. Penggunaan nilai dan
merupakan varian dari penjumlahan total R, G, B, yang disertai dengan
pertimbangan bahwa penjumlahan total akan menyebabkan nilai baru/yang melampui
julat asli citra penyusun pada sistem pengolahan citra yang lebih maju, secara
otomatis rumus jansen (2005)
kemudian diproses dengan pensklaan kembali dengan
menggunakan atau .
Kemudian nilai hue (H) dihitung dengan rumus
berikut;
H =
(jensen,2005)…………………………………………………………………(4.25)
Atau H = arccos .(liu dan mason,
2009)……………………………………….(4.26)
Dimana; V = + )-(RG+RB+GB)
Atau, H = arccos
(Gao, 2010)…………………………………………………(4.27)
Sementra itu, dengan mengacu pada jensen (2005), liu
dan maosn (2009), goa (2009) konsekuensi Yang muncul pada rumus saturation
adalah sebagai berikut;
I = (jensen ,
2005)………………………………………………………….(4.28)
Atau, S=
sehinnga,
S= (liu dan
mason, 2009)……………………………………………..(4.29)
Atau S= (
Gao, 2010)………………………………………(4.30)
Rumus-rumus di atas tentunya tidak hanya berlaku
pada sistem multispektral yang terdiri dari 3 saluran RGB saja, pengertian RGB
disi lebih tepat mengacu pada saluran yang diberi warna merah,hujau dan biru. Oleh karena itu,
apabila citra masukannya adalah infra merah jauh deberi warna B, maka rumus I,
H, S juga dimasukan nilai-nilai pixel. Pada saluran inframerah dekat,tengah dan
jauh.
b. Dari
RGB ke IHS kembali ke RGB
Sekali citra baru berupa intensity,
hue, dan saturation terbentuk maka ketigannya dapat dijadikan masukan dalam
penyusunan komposit warna dengan mengembalikannya adalah warana pada citra I,
hijau pada H, biru pada S. penyusunan komposisi melalui transformasi RGB-HIS-RG
ini kadang kala dapat menghasilkan komposit warna yang bagus dan mudah di
interprestasikan, namun kadang kala juga menghasilkan citra yang lebih sulit
untuk di mengerti.
3.
parameter statistik untuk kualitas
citra komposit
Dengan banyaknya kemungkinan untuk
dapat menghasilkan citra komposit berdasarkan jenis masukan saluran spektral
dan cara representasi warnanya, kemmudian timbul pertanyaan. Adakah suatu
parameter yang dapat digunakan untuk menilai suatu citra komposit lebih
baik/lebih buruk daripada yang lain? Sebenarnya ukuran semacam ini.kalaupun ada
tidak dapat digenerasikan begitu saja, sehingga konsep kejelasannya pada citra
juga bersifat relatif tergantung jenis kenampakan yang dianalisis. Diasamping
itu, persepsi warna dan pola yang muncul pada citra juga bisa berbeda-beda
untuk penafsir yang berbeda di latar belakangnya miskipun demikian,
mengacu kembalinya keprinsip dasar
stasistik dapat digunaan untuk membantu menemukan kualitas citra komposit,
berdasarkan saluran-saluran penyusun, yaitu melaui optimum index faktor (OIF),
yang dikembangkan oleh Ccaves et al (1982).
optimum index faktor (OIF)
Ccaves et al (1982) mengembangkan suatu
parameter untuk menilai kualitas citra
komposit secara statistik. Parameter ini disebut dengan OIF, misalnya terdapat
citra dengan n saluran maka nilai OIF ini dihitung untuk sembarang kombinasi 3
saluran sebagai berikut (jensen, 2005).
Dimana Sk adalah simpangan baku iuntuk saluran k,
dan abs (n) adalah harga mutlak untuuk koefisien korelasi antara sembarang
pasangan 2 saluran dari ke3 saluran tersebut.
Mengacu kembali kedasar sattistik citra maka nilai
OIF ditentukan oleh 2 hal utama. Paertam adalah nilai simpangan baku seluruh
pixel dalam seluruh citra yang dilibatkan. Kedua adalah besaranya koefisien
korelasi antar saluran yang dilibatkan kedalam penyusunan komposit. Semakin
beragam nilai pixel dalam suatu saluran, semakain besar pula nilai simpangan
bakunya. Apabila 3 saluran masukan semua sangat beragam nilainya.maka nilai
pembilang menjadi besar. Disisi lain, apabila 3 saluran yang dilibatkan
tersebut tidak saling berkorelasi, maka nilai penyebut akan cenderung kecil dan
hal ini akan berpotensi untuk menghasilkan nilai OIF yang besar. Semakin besar
nilai OIF, semakin bagus kualitas citra kompositnya secara ststistik. Besarnya
koefisien antar saluran tersaji dalam bentuk matriks korelasi pada tabel 4.3
kelima saluran tersebut dapat disusun menjadii citra komposit warna banyak 6
kombinasi, yaitu; B1, B2, B3. B1,B2,B4.B1,B2,B5. B1,B3,B4.B1,B3,B5,B1,B4,B5.
Dari rumus OIF, tidak ada perbedaan nilai kualitas citra komposit yang
dihasilkan apabila posisi salah satu/ seluruh saluran dipertukarkan dalam
pemberian waranya, misal B1 diberi biru/hijau/merah. Besarnya nilai OIF untuk
masing-masing kombinasi tersaji di tabel 4.4
Bagian yang diasir
abu-abu menunjukan bahwa nilai koefisien korelasinya sama untuk
pasangan yang sama, misal B3-B4 dengan
B4-B3.
Hasil tersebut menunjukan bahwa pasangan atau kombinasi
saluran terbaik untuk komposit warna citra multispektral hipotetik adalah B1,
B4, B5 (OIF = 44,90). Diikuti oleh B1, B3, B4 (OIF = 43,91), sedangkan
kombinasi yang paling buruk adalah B1, B2,B3 (OIF = 18,37).setiap kombinasi
yang paling buruk adalah B1, B2, B3, (OIF = 18,37). Setiap kombinasi ini akan
memberikan nilai OIF yang sama miskipun posisi setiap saluran dalam urutan RGB
dibolak-balik. Perlu diperhatikan di bawah miskipun statistik perhitungan OIF
ini logis dalam menunjukan kombinasi saluran terbaik, dalam kenyataan tiadak
selalu demikian. Mengingat bahwa rumus OIF disusun oleh parameter simpangan
baku dan koefiseian korelasi antar saluran maka citra yang mengalami gangguan
spektral tertentu, seperti banyak bad lines, noise atau berkabut. Akan membentk
komposit dengan nilai OIF tertenggi. Oleh karena itu, penilain visual tetap
diperhatikan setelah pemeringkatan melalui OIF dilaksanakan. Ada kemungkinan
bahwa kombinasi saluran dengan OIF diperingkat 2 atau 3 justru lebih baik.
4.3.3 “Look-Up Table” (LUT)
Telah dijelaskan pada bagian
terdahulu bahwa secara default, citra saluran tunggal biasa di tampilkan
dalam gradisi keabuan, sementara citra
kompaositt selalu disajikan dalam bentuk komposit warna dengan menggunakan
kombinasi RGB atau yang lain, misalnya IHS. Miskipun demikian, ada beberapa
pertimbangan lain dalam tampilan citra, terutama ketika perbedaan antara
tingkat bit-coding citra masukan dengan tingkat bit-coding layar monitor. Di
samping ituu, kadang kala efektifitas tampila untuk suatu fenomena bisa
meningkat ketika citra tidak disajikan dalam gradasi keabuan, melainkan denagn
gradasi warna tertentu.
1. LUT untuk Gradasi Keabuan (Grey Scale)
Hampir semua paket pengelolacitra
selalu menggunakan asumsi bahwa masukan citra selalu memiliki 256 tingkat
keabuan. Bila nilai kecerahan ini kita sebut BV (brightness value) maka dalam program selalu dinyatakan bahwa BV
input berkisar dari 0 sampai 225. Masukan nilai dengan julat
2.
LUT Untuk Warna-warna lain
Teknik pseudo colour digunakan
untuk menonjolkan perbedaan nilai spektral yang tipis, tanpa melakukan
perentangan kontras. Dengan pseudo colour, piksel-piksel bernilai ‘rendah’
diberi warna biru, sedangkan nilai ‘tengah’ diberi warna hijau, dan nilai
‘tinggi’ diberi warna merah. Untuk monitor 8 bit, nilai terendah yaitu nol,
diberi warna hitam; warna biru untuk nilai1,2,3,...; warna hijau untuk nilai
128,129,130,...; dan akhirnya warna merah untuk 255. Gradasi semacam ini dapat
pula diterapkan dengan memberikan kombinasi warna yang berbeda, misalnya dari
biru gelap,ungu,magenta,merah,pink, sampai dengan putih.
Disamping itu masih banyak lagi teknik presentasi
presentasi piksel dalam warna yang semuanya lebih mengandalkan perbedaan warna
berulang untuk setiap selang nilai tertentu, misalnya setiapa 8 tingkat
kecerahan, 16 tingkat kecerahan dan sebagainya. Beberapa paket perangkat lunak
untuk pengolahan menyediakan pilihan LUT cukup banyak.
3.
LUT untuk citra komposit warna
Dalam penyusun citra komposit
warna, setiap saluran masukan pada umumnya mempunyai tingkat bit-coding minimal
8 atau setara dengan julat 0-255. Apabila suatu citra komposit tersusun atas 3
saluran yang masing-masing mempunyai kedalaman informasi piksel 8 bit (28
tingkat kecerahan, atau 256 gradasi keabuan) maka citra komposit yang terbentuk
akan mempunyai 28x3= 224 atau setara sekitar 16,77 juta warna.
Teknik lain , yang masih juga merupakan kompresi
citra, adalah penyusunan fungsi matematis ketiga saluran untuk menghasilkan
citra baru, yaitu citra komposit. Melalui fungsi matematis ini, kemampuan layar
yang hanya 8 bit tidak perlu dipaksa untuk berfungsi maksmimal, tetapi si
pemrogram atau pengguna dapat mengatur keluaran nilai piksel maksimum yang
baru. Sebagai contoh, tiga saluran (1,2, dan 3) yang masing-masing memiliki
julat 0-255 akan dipadukan menjadi citra
komposit warna. Sebagai langkah awal, setiap saluran dimampatkan menjadi citra
baru dengan julat 0-5. Selanjutnya citra komposit warna adalah lekuaran yang
dihasilkan oleh formula :
Citra komposit = 36x (saluran_1) + 6x(saluran_2) +
saluran_3
Dimana :
Saluran_1 = inframerah dekat
Saluran_2 = m,erah
Saluran_3 = hijau
4.4
SISTEM PENGOLAH CITRA
Saat ini terdapat banyak sekali
perangkat lunak pengolah citra yang beredar di pasaran, hal ini berbeda jauh dibandingkan
kondisi sebelum 1990-an, dimana sebagian besar sistem pengolah citra digital
penginderaan jauh dijalankan pada plattform atau sistem informasi untuk
komputer besar, terutama mainframe. Berkembangnya komputer personal (PC) pada
dekade 90an dan kemudian laptop pada dekade abad ke 21 telah membuat sistem
pengolah citra penginderaan jauh dapat dijangkau oleh siapa saja.
Perangkat lunak yang dikhususkan bagi pengolahan
citra penginderaan jauh cukup banyak di pasaran, ENVI (Environment for
Visualising Image,( Gambar 4.10) adalah salah satu jenis perangkat lunak yang
paling populer saat buku ditulis, dengan kelengkapan fungsi analisis yang
sangat baik untuk ukuran sistem berbasis Microsoft Windows. ENVI diproduksi
oleh RSI (Research Systems Institute) Inc. di Amerika Serikat dan disajikan
secara terintegrasi dengan modul pemrograman IDL (Interractive Data Languange).
Perangkat lunak ini mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengelola data
berukuran cukup besar, baik dalam hal dimensi (ukuran baris-kolom) citra
maupun dalam hal jauh saluran (hingga
hiperspektral)
Gambar 4.10 Tampilan perangkat
lunak ENVI
Fasilitas dasar ENVI yang menonjol adalah kemampuan
membaca dan mengonversi data (impor ekspor) penginderaan jauh dalam berbagai
format, melakukan pemotongan citra (membuat subimage) baik dalam hal ukuran
baris-kolom maupun jumlah saluran dalam berbagai ukuran acuan (peta,citra,
maupun pilihan baris-kolom secara bebas), fasilitas lain adalah kemampuan
melakukan koreksi dan kalibrasi citra, baik secara geometrik maupun
radiometrik. Kelengkapan koreksi dan kalibrasi radiometrik termasuk unggul
dibandingkan perangkat lunak lain.
Kemampuan pengolah citra yang terbatas dimiliki oleh
perangkat lunak SIG berbasis vektor, seperti MapInfo dan ArcView serta ArcGIS.
Pada perangkat-perangkat lunak ini fasilitas pengolahan hanya tampilan
(display) citra komposit dari sejumlah pilihan saluran spektral (tidak hanya
tiga) dengan fasilitas dengan fasilitas penajaman; kecuali ArcGIS yang
menyajikan fasilitas klasifikasi multispektral sederhana.
Modul-modul SIG yang disediakan pada umumnya
berbasis model data raster. Hal ini sangat wajar karena pada dasarnya logika
analisis spasial peta raster dan citra digital hampir sama, dimana citra
multispektral dipandang sebagai data multivariat. Perangkat-perangkat lunak ini
misalnya adalah ERDAS Imagine, Idrisi, dan ILWIS.
ERDAS (Earth Resource Data Analysis System, Gambar
4.11) Imagine dapat disebut sebagai perangkat lunak dengan fasilitas pengolah
citra yang sangat lengkap dan SIG berbasis raster yang juga lebih dari memadai.
Setiap proses pengolahan dengan Imagine memberikan
opsi pada pengguna/analisis, apakah akan menyimpan data dengan format tertentu,
yang kadang kala tidak disajikan secara jelas pada perangkat lunak lain. Sebagai
contoh, hasil proses suatu penajaman atau pemfilteran, apakah akan disimpan
sebagai unsigned 8 bit (0-255), atau integer, atau data riel (floating nilai
pecahan). Proses pengolahan yang dipandu dengan dialog box sangat membantu dan
membimbing pengguna atau analis dalam mengambil keputusan dan mempelajari
proses berpikir analisis citra dalam oerangkat lunak tersebut.
Meskipun fasilitas analisis spasial (SIG) dalam
Imagine cukup baik,ada satu hal yang dengan cermat perlu dipegang oleh pengguna
atau analisis, yaitu bahwa setiap label diwakili dengan angka (nilai piksel),
yang pada dasarnya memang merupakan model tipikal SIG berbasis raster. Di
samping itu, kurangnya fasilitas konversi data vektor ke raster dan model-model
statistik spasial pendukung juga merupakan catatan penting. Lepas dari itu,
kemampuan analisis spasial melalui konteks atau ketetangaan merupakan
keunggulan Imagine dibandingkan kebanyakan perangkat lunak pengolah citra dan
SIG terintegrasi lainnya.
Disaijkan oleh ENVI, lengkap dengan menu-menu
post-classification processing yang tidak terkait dengan fungsi-fungsi SIG.
visualisasi dan anilisi data topografi juga disediakan, dilengkapi dengan modul
analisis radar.
ENVI menawarkan fleksibilitas dalam pengolahan citra
melalui IDL, dimana pengguna dapat memprogram sendiri modul yang diinginkan,
kemudian diintegrasikan dengan menu yang ada. Model-model dan formula anilis
citra dapat dikembangkan dengan pemprogramkan melalui IDL. Kekurangan utama
ENVI adalah kemampuan untuk mengintegrasikan analisis citra spektral deangan
data spasial yang lain . di samping itu fasilitas presentasi kartografis hasil
analisis citra khususnya hasil klasifikasi masih sangat terbatas.
Perangkat lunak dengan fungsi yang hampir serupa
dengan ENVI adalah ER-Mapper yang pada awalnya dikembangkan di australia.
ER-Mapper menawarkan fleksibilitas dalam
visualisasi yang dapat dilakukan melaui langkah-langkah yang bervariasi.
Kemampuannya untuk koreksi geometri dan penyusunan mosaik citra secara digital
termasuk unggul. Fitur utama paling menonjol pada perangkat lunak ini adalah
kecepatan pemprosesan dan tampilan yang disertai dengan penyimpanan berkas yang sangat efisien, yaitu melalui
penyimpanan defenisi penurunan data yang disebut algoritma. Berkas algoritma
hanya menyimpan defenisi dari proses yang dilakukan dan disimpan dalam bentuk
tesk. Ketika berkas algoritma di aktifkan, proses pun dijalankan pleh program
dengan kecepatan yang tinggi.
ER-Mapper menawarkan modul-modul seperti yang
dierikan oleh ENVI keunggulannya dibandingkan ENVI adalah kemampuan untuk
menerapkan klasifikasi citra melalui feature space dan bukan melalui image
space, sperti ini biasanya dilakukan
dengan perangkat lunak lain. Dengan demikian, kelas dapat dipilih berdasarkan
pengetahuan atas posisi objek dalam ruang spektral multi dimensional. Miskipun
demikian sebagai perangkat lunak pengolah citra ER-Mepper juga mempunyai
kelemahan dalam penyajian karto-grafis hasil klasifikasi maupun citra
komposinya. Disamping itu, kemampuan untuk bekerja dengan data spasial bukan
pengindraan jauhpun sangat terbatas.
Agak bersembarang dengan ERDAS image, ILWIS (gambar
4.12) menawarkan modul SIG berbasis raster yang lebih lengkap, dengan fasilitas
pengolah citra yang relatif lebih sedikit. Miskipun kemmampuan pengolah
citranya lebih ungul dibandingkan kebanyakan SIG manapun juga. ILWIS pada
awalnya dikembangkan di ITC, negeri belanda, berdasarkan proyek penglahan DAS
disumatra selatan dan di amerika selatan. Saat ini ILWIS sudah beralih kedomain
open source dan dapat di download secara gratis di www.52north,org.
ILWIS menunjukan kemampuan menginegrasikan
pengolahan citra dan SIG raster melalui fasilitas kalkulator peta. Melalui
toolbox approach, ILWIS tidak membedakan peta dan citra secara bersebrangan,
kecuali dalam properties yang menyatakan domain datanya. Operasi dalam
kalkulasi peta berbasis pada kombinasi aljabar peta/citra, pengondisian
logis dan pergaitan atribut dengan nilai
pixel atupun poligon. Dalam pengolahn citra, keterbatasan ILWIS terutama dalam
menu-jadi untuk pra-pemprosesan yang tidak terlalu lengkap,miskipun hal ini
bisa, dilakukan dengan bantuan kalkulator peta. Begitu juga fasilitas uji
akurasi serta analisis citra lanjut seperti untuk data hiperspektral dan radar.
Kemampuan ILWIS yang paling menarik adalah
dalam mengintegrasikan data vektor, data
raster, dan data citra digital. ILWIS mempunyai menu untuk masukan data vektor
melalui fasilitas digitasasi-baik dengan meja digiser. Maupun on-screnn,
menyusun topologi hingga menjadi data vektor tingkat tinggi. Perangkat lunak
ini juga mempu melakukan analisis
geostatistik dari data vektor titik/garis kadata raster kontiniu, untuk
diintegrasikan dengan citra. ILWIS sangat bermamfaat untuk post-classification processing,
misalnya mengubah penutup lahan menjadi penggunaan lahan integrasi dengan SIG.
di samping itu, kemampuan lay-out petanya termasuk paling bagus dibandingkan
dengan peangkat lunak pengolah citra lainnya, miskipun belum sebagus perangkat
lunak SIG vektor seperti Mapinfo Arcgis.
Hingga saat buku ini diterbitkan, kelemahan utama
ILWIS ialah pada belum stabilnya perangkat lunak apabila dijalankan pada
platfornm selain windos XP. Di samping itu, struktur datanya pun dalam versi
yang baru relatif rumit dan kurang nyaman bagi pemula, miskipun satelah
pemakaina cukup lama akan menimbulkan ketertarian yang mendalam untuk ekplorasi
lebih jauh. Unuk pengolahan citra, ILWIS juga kurang cocok untuk proyek besar
berukuran data yang sangat besar larena kecepatan pemrosesannya tidak sebaik
ENVI,ER-Mapper dan Imagine.
Perangkat lunak lain yang mempunyai kemampuan
integrasi pengolah citra dan SIG berbasis raster adalah idrisi (gambar 4.13).
nama idrisi di ambil untuk menghormati al-idrisi, ahli geografi arab di abad ke
13.
Idrisi awalnya dikembangkan oleh departemen geografi
di universitas clark, amerika serikat, dengan profesor ronald eastman sebagai
projec leadernya. Idrisi sangat cocok digunakan pada proyek-proyek relatif
kecil, meskipun kemampuan analisis spasialnya bisa di kategorikan unggul dan merupakan
proyek eksperimen yang di lakukan oleh peneliti-peneliti besar di amerika. dari
segi harga, idrisi merupakan yang paling murah di bandingkan perangkat lunak
pengolah citra lainnya, kecuali di bandingkan ILWIS dan perangkat lunak open
source lain.
Sebagai perangkat lunak pengolah citra dan SIG
raster yang terintegrasi, indrisi menawarkan fasilitas dua sistem tersebut dengan proporsi yang
kurang lebih sama. Kemampuan pengolah citra idrisi lebih baik dibandingkan
ILWIS, bahkan terdapat fasilitas untuk analiasis hiperspektral serta
klasifikasi berbasis objjek melaui teknis segmentasi citra. Dokumentasi melalui
fasilitas bentuan pada modul/menu idrisi tersedia secara lengkap dan sangat
bermamfaat, termasuk referensi teoritis yang digunakan, misalnya jurnal ilmiah
yang digunakan sebagai basis pengembangan program.
Dengan idrisi, modul SIG berbasis raster secara umum
bisa di jalankan dengan dua cara; melalui menu/kalkulasi peta berbasis aljabar
citra/peta. Di samping itu, terdapat modul aplikasi SIG yang spesifik, misalnya
analisis fragmentasi untuk aplikasi ekologi entang lahan dan juga permodelan
perubahan penggunaan lahan, baik dengan pendekatan rantai markov maupun
cellular automata. Kesemuanya terkait dengan data yang dipersiapkan melalui
analisis citra. Modul lain yang serupa dengan ILWIS, namun dengan stabilan
sistem yang lebih baik, adalah permodelan spasial berbasis data raster untuk
analisis hidrologi dan erosi, misalnya miskipun demikian, fleksibilitas untuk
analisis data dari luar menu tidak sebaik perangkat lunak pengolah citra dan
SIG berbasis raster lainnya.
Berikut ini contoh beberapa perangkat lunak, baik
yang bersifat komersial, gratis, maupun milik pemerintah, dengan kemampuan
untuk pengolahan citra dan integrasinya dengan SIG. tabel 4.5 berikut merupakan
moditifikasi atas jensen (2005).
DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro.p. 2012 Pengantar Penginderaan Jauh
Digital. Yogyakarta: Andi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar